Kuroneko dan Hujan (Bag. 1)

 Semarang, 2019

Aku  Fafa dan suami aku Mas Yahya. Kami baru saja melangsungkan pernikahan sederhana beberapa bulan lalu dan memutuskan untuk tinggal mandiri di kos paviliun yang sederhana. Ada cerita dibalik kos paviliun mungil kami. Sebelum menikah, aku memiliki prinsip yang kuat untuk hidup terpisah dari orang tua setelah menikah, maka dari itu aku pun menyampaikan kepada Mas Yahya untuk mencari tempat tinggal (kos) yang nyaman dan berjodoh dengan kami. Kala itu sepulang kerja atau pada hari libur, kami selalu menyempatkan untuk mencari kos yang tepat dan lingkungannya nyaman untuk ditinggali, dan pastinya tidak terlalu jauh dari tempat kami bekerja. 

Setelah beberapa minggu mencari keliling sekitar kantor, kami belum menemukan yang cocok dan terjangkau dari segi harga dan jarak dari kantor. Ada saja faktor yang kami temui selama perjalanan pencarian kos pasutri. Ada kos yang cocok, tapi sudah penuh. Ada yang dekat namun lingkungannya tidak memenuhi persyaratan kami dan sebagainya. Kami berdua pasrah dan kembali pulang dengan harapan yang hampa. Setelah seharian kami mencari, Mas Yahya berinisiatif menyusuri jalan baru untuk dilalui sebagai penghibur diri. Jalan itu benar-benar makadam[1] dan asri. 

Banyak pepohonan dan suasananya seperti menyusuri desa, sedangkan wilayah yang kami susuri adalah Kotamadya. Banyak tanah kosong, pohon pun tumbuh tak beraturan di lingkungan rumah warga. Jalannya berlekok seperti ular, kanan kiri kanan kiri sekitar 1,5 km. Tak ada harapan untuk mendapatkan kos yang kami inginkan, hanya menikmati suasana desa di pinggiran kota besar yang masih asri. Dipenghujung jalan kami melewati perumahan daerah dengan tipe rumah minimum subsidi. Tanpa disengaja, tepat diseberah perumahan itu ada tulisan benner “MENERIMA KOS/KONTRAK” .

“Stop!! Mas ada kos-kos an nih, seperti perumahan mungil. “, kataku

“Ada nomornya gak tuh?” jawab Mas Yahya

“Ada tuh, dua. Foto aja nanti kita chat yang punya kos” jawabku antusias

“oke!. Yuk pulang mau maghrib” balas Mas Yahya


Keputusasaan kami akhirnya ditunjukkan jalan oleh Allah SWT. Ternyata jalan makadam tadi adalah salah satu bukti dari niat kami yang tulus untuk belajr mandiri setelah nikah nanti. Ridho Allah SWT itu nyata. Setelah komunikasi dengan pemilik kos, akhirnya kami menetap di kos mungil itu dan jujur kos paviliun ini sangat nyaman dan benar-benar sesuai yang diharapkan. Kos paviliun ini cukup sederhana, ada ruang tamu, kamar mandi dalam, dapur dan 1 (satu) kamar tidur. Langit-langit juga tinggi jadi terasa longgar. [Lanjut Bag. 2]



[1] Makadam adalah jalan terjal tanah dan batu; belum diperbaiki


Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Kumpulan Mahfudzot (Pribahasa)

Hadits Tentang Tata Cara Pergaulan dan Pakaian

WE BARE BEARS - DRAW THEIR LIFE GRIZZLY PANDA AND ICE BEARS